IDE
Nama Bayi dari Suku Bugis Makassar (Sulawesi Selatan)
IDE memberi nama pada bayi dari berbagai suku di Indonesia mempunyai tata cara khas sendiri. Begitu pula
dengan adat kebiasaan suku Bugis Makassar.
Suku Bugis
terkenal karna memiliki jiwa perantauan. Menurut statistik BPS 2000 terdapat
lebih dari enam juta jiwa, berdiam di Sulawesi, sebagian menyebar ke seluruh
Indonesia, dan juga dunia.
Bagi suku yang berasal dari Sulawesi Selatan itu, nama atau
"sennu" dalam bahasa Bugis merupakan sebuah penanda atau simbol
strata sosial masyarakat dimana ditempatkan semua harapan baik. Nama adalah hal
penting dan sakral. Spesialnya, untuk orang yang dihormati, panutan masyarakat,
kaum bangsawan apalagi seorang raja.
Dalam penerapan keseharian, tidak sopan bila menyebut langsung nama
seseorang memiliki derajat diatasnya. Misalnya, anak pada orang tua, istri pada
suaminya, atau rakyat pada rajanya.
Cara memberikan nama bayi pada Suku Bugis, ditulis Makassar
Terkini, memiliki tahap tertentu. Pada saat putera-puterinya lahir,
pertama mereka diberikan nama sebut-sebutan atau "areng dondo-dondo",
yakni nama yang didasarkan pada kondisinya waktu lahir. Menginjak usia 6 atau 7
tahun, mereka diberikan nama diri atau "areng rikale", bisa
dari nama Arab ataupun nama Makassar.
Saat telah dewasa, nama merekapun diubah sesuai gelaran atau "areng
pa’daengang". Pada masa ini, khusus bagi bangsawan, mereka berhak
diberikan dua nama. Bagi keturunan raja, anak mereka diberikan "areng
pakkaranengang" yakni atas dasar nama daerah yang dikuasainya.
Contohnya Karaengta Ujung Tanah, Karaengta Patukangang, dsb.
Dengan berkembangnya keadaan zaman begitu pesat, kebiasaan memberikan nama salah satu
khas budaya Indonesia ini pun mengalami kelunturan. Seperti yang ditulis oleh
Mustam Arif, penggiat LSM dan penikmat media, yang tinggal di Makassar.
Menurutnya, nama-nama anak generasi etnis Bugis-Makassar banyak kehilangan
bagian dari identitas nama mereka.
- Contoh nama suku Bugis Makassar
- Andi = gelar untuk bangsawan
- Daeng = gelar penghormatan
- Ambo = nama umum untuk laki-laki
- Indo = nama umun bagi perempuan, atau ibu
- Akko = campuran
- Akku = kepunyaan saya
- Ampa = terlihat dan terpandang
- Atu = tinggi atau tunggal
- Benga = dikagumi dengan heran
- Bombang = ombak laut
- Cenning = manis
- Eja = kemerahan
- Enre = hidupnya meningkat terus
- Esa = ada atau berada
- Gatta = berombak
- Gau = orang yang giat bekerja
- Kasii = dikasihani disayangi
- Keteng = sinar bulan purnama
- Makatenga = berada ditengah-tengah atau adil
- Lalo = hidup yang mudah
- Malomo = mudah hidupnya
- Marauleng = cahaya bulan
- Nyompa = sadar atau tobat
- Ola = memberi jalan atau tetap maju
- Pada = sama atau serupa
- Palalo = pemberi arah atau panutan
- Pallawarukka = penghalan keributan
- Rawallangi = dibawah langit
- Sanna = terduga
- Sompa = pemberian Ilahi
- Takko = tanpa disangka
- Tang = kuat, kokoh, teguh
- Tenri = nama putri bangsawan, atau bisa juga diartikan "tidak"
- Tinro = motivator
- Tunrung = tandang
- Uleng = bulan
- Upe = keberuntungan
- Uleng = bercahaya bagai Bulan
- Unru = handal
- Tuo = sampai tua, panjang umur
- Wellang = memberi pencerahan
- Were = nama bayi asal Bugis Makassar yang artinya "memiliki kharomah"
Rumah Adat Suku Bugis
Mengenali Rumah Adat Bugis Makassar
Rumah adat Bugis Makassar tidak hanya unik karena bentuknya
namun juga karena landasan filosofinya. Bangunan yang kini makin sulit ditemui
itu setidaknya menggambarkan 3 hal yakni botting langi (dunia atas), ale kawa
(dunia tengah) dan awa bola (dunia bawah).
Boting langi atau dunia atas menggambarkan bahwa kehidupan diatas alam sadar manusia terkait dengan kepercayaan yang tidak nampak. Seperti dalam pemahaman budaya Makassar bahwa di dunia atas tersebut bersemayam Dewi Padi. Karena pemahaman inilah maka banyak masyarakat Bugis yang menggunakan bagian atas rumah sebagai tempat penyimpanan padi dan hasil pertanian lainnya. Sedangkan ale kawa menunjukkan bahwa di kehidupan manusia selalu terkait dengan aktivitas keseharian. Nah, pada rumah tradisional Bugis Makassar ada tiga bagian rumah yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti bagian depan yang digunakan untuk menerima kerabat, bagian tengah untuk ruang tidur dan ruang dalam untuk kamar tidur anak. Sementara itu, dunia bawah atau awa bola mengacu pada ruangan yang digunakan untuk mencari rejeki seperti tempat menyimpan alat-alat pertanian, tempat menenun, kandang binatang dan tempat bermain bagi anak-anak.
Boting langi atau dunia atas menggambarkan bahwa kehidupan diatas alam sadar manusia terkait dengan kepercayaan yang tidak nampak. Seperti dalam pemahaman budaya Makassar bahwa di dunia atas tersebut bersemayam Dewi Padi. Karena pemahaman inilah maka banyak masyarakat Bugis yang menggunakan bagian atas rumah sebagai tempat penyimpanan padi dan hasil pertanian lainnya. Sedangkan ale kawa menunjukkan bahwa di kehidupan manusia selalu terkait dengan aktivitas keseharian. Nah, pada rumah tradisional Bugis Makassar ada tiga bagian rumah yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti bagian depan yang digunakan untuk menerima kerabat, bagian tengah untuk ruang tidur dan ruang dalam untuk kamar tidur anak. Sementara itu, dunia bawah atau awa bola mengacu pada ruangan yang digunakan untuk mencari rejeki seperti tempat menyimpan alat-alat pertanian, tempat menenun, kandang binatang dan tempat bermain bagi anak-anak.
Menariknya,
rumah tradisional Bugis Makassar dapat dibedakan berdasarkan status sosial si
empunya. Rumah saoraja adalah rumah besar yang ditempati para keturunan raja
atau kaum bangsawan. Sedangkan bola adalah rumah yang ditempati rakyat biasa.
Sebenarnya baik saoraja maupun bola memiliki tipologi yang sama. Keduanya
sama-sama memiliki berbentuk persegi panjang. Hanya saja, saoraja berukuran
lebih luas. Atapnya yang berbentuk prisma – biasa disebut timpak laja – bertingkat-tingkat
antara 3 hingga 5 sesuai dengan kedudukan penghuninya.
Selain unik secara filosofis dan
bentuk, proses pendirian rumah juga sangat menarik. Si empunya harus meminta
pertimbangan dari panrita bola untuk mencari tempat dan arah yang dianggap
baik. Beberapa prinsip dalam pendirian rumah adalah sebaiknya menghadap
matahari terbit, menghadap ke dataran tinggi dan menghadap ke salah satu arah
mata angin. Waktu pendirian rumah juga tidak bisa sembarangan. Biasanya hari
atau bulan baik ditentukan oleh mereka yang memilki kepandaian dalam hal
tersebut. Sebelum rumah didirikan didahului dengan upacara ritual yang kemudian
diteruskan dengan mendirikan bagian-bagian rumah secara berurutan. Tiang pusat
utama rumah terlebih dahulu dikerjakan, kemudian baru tiang-tiang yang lain.