Rabu, 05 Maret 2014

Semua Tentang Makassar!!!!!

IDE Nama Bayi dari Suku Bugis Makassar (Sulawesi Selatan)

IDE memberi nama pada bayi dari berbagai suku di Indonesia mempunyai tata cara khas sendiri. Begitu pula dengan adat kebiasaan suku Bugis Makassar.

Suku Bugis terkenal karna memiliki jiwa perantauan. Menurut statistik BPS 2000 terdapat lebih dari enam juta jiwa, berdiam di Sulawesi, sebagian menyebar ke seluruh Indonesia, dan juga dunia.
Bagi suku yang berasal dari Sulawesi Selatan itu, nama atau "sennu" dalam bahasa Bugis merupakan sebuah penanda atau simbol strata sosial masyarakat dimana ditempatkan semua harapan baik. Nama adalah hal penting dan sakral. Spesialnya, untuk orang yang dihormati, panutan masyarakat, kaum bangsawan apalagi seorang raja. 

Dalam penerapan keseharian, tidak sopan bila menyebut langsung nama seseorang memiliki derajat diatasnya. Misalnya, anak pada orang tua, istri pada suaminya, atau rakyat pada rajanya. 

Cara memberikan nama bayi pada Suku Bugis, ditulis Makassar Terkini, memiliki tahap tertentu. Pada saat putera-puterinya lahir, pertama mereka diberikan nama sebut-sebutan atau "areng dondo-dondo", yakni nama yang didasarkan pada kondisinya waktu lahir. Menginjak usia 6 atau 7 tahun, mereka diberikan nama diri atau "areng rikale", bisa dari nama Arab ataupun nama Makassar.

Saat telah dewasa, nama merekapun diubah sesuai gelaran atau "areng pa’daengang". Pada masa ini, khusus bagi bangsawan, mereka berhak diberikan dua nama. Bagi keturunan raja, anak mereka diberikan "areng pakkaranengang" yakni atas dasar nama daerah yang dikuasainya. Contohnya Karaengta Ujung Tanah, Karaengta Patukangang, dsb. 

Dengan berkembangnya keadaan zaman begitu pesat, kebiasaan memberikan nama salah satu khas budaya Indonesia ini pun mengalami kelunturan. Seperti yang ditulis oleh Mustam Arif, penggiat LSM dan penikmat media, yang tinggal di Makassar. Menurutnya, nama-nama anak generasi etnis Bugis-Makassar banyak kehilangan bagian dari identitas nama mereka

  1. Contoh nama suku Bugis Makassar
  • Andi = gelar untuk bangsawan
  • Daeng = gelar penghormatan
  • Ambo = nama umum untuk laki-laki
  • Indo = nama umun bagi perempuan, atau ibu
  • Akko = campuran
  • Akku = kepunyaan saya
  • Ampa = terlihat dan terpandang
  • Atu = tinggi atau tunggal
  • Benga = dikagumi dengan heran
  • Bombang = ombak laut
  • Cenning = manis
  • Eja = kemerahan
  • Enre = hidupnya meningkat terus
  • Esa = ada atau berada
  • Gatta = berombak
  • Gau = orang yang giat bekerja
  • Kasii = dikasihani disayangi
  • Keteng = sinar bulan purnama
  • Makatenga = berada ditengah-tengah atau adil
  • Lalo = hidup yang mudah
  • Malomo = mudah hidupnya
  • Marauleng = cahaya bulan
  • Nyompa = sadar atau tobat
  • Ola = memberi jalan atau tetap maju
  • Pada = sama atau serupa
  • Palalo = pemberi arah atau panutan
  • Pallawarukka = penghalan keributan
  • Rawallangi = dibawah langit
  • Sanna = terduga
  • Sompa = pemberian Ilahi
  • Takko = tanpa disangka
  • Tang = kuat, kokoh, teguh
  • Tenri = nama putri bangsawan, atau bisa juga diartikan "tidak"
  • Tinro = motivator
  • Tunrung = tandang
  • Uleng = bulan
  • Upe = keberuntungan
  • Uleng = bercahaya bagai Bulan
  • Unru = handal
  • Tuo = sampai tua, panjang umur
  • Wellang = memberi pencerahan

Rumah Adat Suku Bugis

Mengenali Rumah Adat Bugis Makassar

 
Rumah adat Bugis Makassar tidak hanya unik karena bentuknya namun juga karena landasan filosofinya. Bangunan yang kini makin sulit ditemui itu setidaknya menggambarkan 3 hal yakni botting langi (dunia atas), ale kawa (dunia tengah) dan awa bola (dunia bawah).

Boting langi atau dunia atas menggambarkan bahwa kehidupan diatas alam sadar manusia terkait dengan kepercayaan yang tidak nampak. Seperti dalam pemahaman budaya Makassar bahwa di dunia atas tersebut bersemayam Dewi Padi. Karena pemahaman inilah maka banyak masyarakat Bugis yang menggunakan bagian atas rumah sebagai tempat penyimpanan padi dan hasil pertanian lainnya. Sedangkan ale kawa menunjukkan bahwa di kehidupan manusia selalu terkait dengan aktivitas keseharian. Nah, pada rumah tradisional Bugis Makassar ada tiga bagian rumah yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti bagian depan yang digunakan untuk menerima kerabat, bagian tengah untuk ruang tidur dan ruang dalam untuk kamar tidur anak. Sementara itu, dunia bawah atau awa bola mengacu pada ruangan yang digunakan untuk mencari rejeki seperti tempat menyimpan alat-alat pertanian, tempat menenun, kandang binatang dan tempat bermain bagi anak-anak.
Menariknya, rumah tradisional Bugis Makassar dapat dibedakan berdasarkan status sosial si empunya. Rumah saoraja adalah rumah besar yang ditempati para keturunan raja atau kaum bangsawan. Sedangkan bola adalah rumah yang ditempati rakyat biasa. Sebenarnya baik saoraja maupun bola memiliki tipologi yang sama. Keduanya sama-sama memiliki berbentuk persegi panjang. Hanya saja, saoraja berukuran lebih luas. Atapnya yang berbentuk prisma – biasa disebut timpak laja – bertingkat-tingkat antara 3 hingga 5 sesuai dengan kedudukan penghuninya.

 



Selain unik secara filosofis dan bentuk, proses pendirian rumah juga sangat menarik. Si empunya harus meminta pertimbangan dari panrita bola untuk mencari tempat dan arah yang dianggap baik. Beberapa prinsip dalam pendirian rumah adalah sebaiknya menghadap matahari terbit, menghadap ke dataran tinggi dan menghadap ke salah satu arah mata angin. Waktu pendirian rumah juga tidak bisa sembarangan. Biasanya hari atau bulan baik ditentukan oleh mereka yang memilki kepandaian dalam hal tersebut. Sebelum rumah didirikan didahului dengan upacara ritual yang kemudian diteruskan dengan mendirikan bagian-bagian rumah secara berurutan. Tiang pusat utama rumah terlebih dahulu dikerjakan, kemudian baru tiang-tiang yang lain.